Senin, 25 Maret 2013

URGENSI TEORI DEKONSTRUKSI DALAM TRANSFORMASI PEMIKIRAN HUKUM



ABSTRAK

Paham negara hukum yang dianut dalam budaya hukum Indonesia mendudukkan kepentingan perorangan
secara seimbang dengan kepentingan umum. Artinya negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta melindunginya, sementara pada sisi lain negara diberikan kekuasaan untuk melindungi hak dan kewajiban asasi rakyatnya dengan membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai. Konsep kenegaraan ini tidak mendudukkan kepentingan individu atau HAM (dalam perspektif Barat) diatas segala-galanya dan tidak pula mendudukkan kepentingan negara diatas segalanya.

Kata kunci: pemikiran hukum, teori dekonstruksi, budaya hukum


Pendahuluan
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, ilmu hukum juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Hal ini dapat ditelusuri mulai dari zaman purba (pra Socrates, Yunani, Romawi), abad pertengahan, Renaissance, zaman baru hingga zaman modern, mulai dari aliran hukum alam hingga aliran hukum pragmatis Amerika. Perkembangan tersebut seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang merupakan rangkaian penjelajahan atas ide manusia yang selalu mempertanyakan segala sesuatu. Mulai zaman purba, Mesir, Babylonia hingga zaman modern.
Dalam sejarah peradaban manusia jejak hukum mulai terekam sejak disusunnya kodifikasi hukum yang pertama oleh raja Hammurabi (Codex Hamuurabi) pada masa kejayaan Babilonia (1800 SM).  Meski demikian Marcus Tullius Cicero (106-45 SM) menuliskan dalam adagiumnya yang terkenal, “ubi societas ibi ius”, dimana ada masyarakat di situ pasti ada hukum. Sejarah telah menceritakan bahwa sejak manusia manusia hidup bermasyarakat sejak itu pula hukum memegang peranannya yang penting dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Perkembangan penjelajahan ide manusia pada dunia pengetahuan hukum juga tampak pada masa Socrates, ketika ia berbicara tentang keadilan, kemudian dilanjutkan Aristoteles (348 – 322SM) yang berbicara tentang hukum begitu juga Pythagoras (571 – 497 SM) yang menyatakan keadilan sebagai bentuk perimbangan alamiah. Kesearahan orientasi penjelajahan ide manusia pada dunia hukum ini tentu saja berlanjut setelah abad masehi yakni melalui aliran hukum alam, mulai dari yang berorientasi pada universalitas atau yang biasa disebut sebagai aliran hukum alam  irrasional hingga pada aliran hukum alam yang didominasi oleh rasio manusia atau yang biasa kita sebut aliran hukum alam rasional. Penjelajahan ide hukum ternyata terus berlanjut yang kemudian melahirkan banyak aliran hukum dengan berbagai metode pendekatan yang digunakan oleh tokoh sentralnya masing-masing sampai pada aliran hukum pragmatis.
Paham negara hukum yang dianut dalam budaya hukum Indonesia mendudukkan kepentingan perorangan secara seimbang dengan kepentingan umum. Artinya negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta melindunginya, sementara pada sisi lain negara diberikan kekuasaan untuk melindungi hak dan kewajiban asasi rakyatnya dengan membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai. Konsep kenegaraan ini tidak mendudukkan kepentingan individu atau HAM (dalam perspektif Barat) diatas segala-galanya dan tidak pula mendudukkan kepentingan negara diatas segalanya. Keduanya didudukkan dalam posisi yang proporsional demi terciptanya gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo.
Paradigma diatas dapat menuntun dalam penyelenggaraan suatu negara hukum, yakni pembuatan undang-undang, penegakan hukum dan peradilan. Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan kedalam berbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses penegakkan hukum. Pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia didasarkan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang secara implisit memperlihatkan bahwa penyusunan hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan pandangan hidup bangsa, yakni Pancasila. Dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, maka paham negara hukum tidak seperti di anut dalam budaya hukum negara lain, baik itu common law system, civil law system, socialist law system maupun islamic law system.
Kondisi real Indonesia adalah bahwa Negara ini masih kurang peranannya dalam kancah dunia. Indonesia masih kurang memainkan kartu sebagai Negara demokratis berpenduduk muslim terbesar di dunia secara maksimal. Kunjungan presiden Amerika pada 9 November 2010 lalu dalam rangkaian kunjungan ke beberapa Negara di Asia yang kurang dari 24 jam menunjukkan antiklimaksnya. Indonesia hanya sekedar menjadi transit untuk istirahat atau dalam bahasa Obama ”pulang kampung”. Sebagaimana kita ketahui Barack Husein Obama adalah presiden Amerika Serikat pertama yang sempat tinggal di Indonesia pada masa kecilnya. Namun dalam hal ini kami ingin menegaskan bahwa hubungan emosional pribadi dan hubungan emosional kenegaraan adalah dimensi yang berbeda.
Dalam konstruksi hukum yang semakin jauh dari ideal di tanah air membuat penulis tergerak untuk membongkar konstruksi yang cenderung jumud, kaku dan pro liberal. Untuk itu penulis berusaha memunculkan pemikiran Derrida sebagai pemikir dekonstruksi. Menurut pemikiran Derrida, setiap teks selalu membuka ruang yang tidak terbatas untuk ditafsirkan dan dibaca ulang, karena itu sebuah teks memiliki dimensi yang unik, karena ia tidak mungkin ditafsirkan secara tunggal. Menurut Derrida, keunikan teks terletak pada pertautannya dengan teks-teks lain (intertekstualitas).
Dalam pandangan Derrida, tidak ada teori atau wacana yang tidak terpengaruh oleh dekonstruksi. Gerakan dekonstruksi pada awalnya merupakan cara atau metode membaca teks, dan yang khas dalam cara baca dekonstruktif menjadi filosofis. Sehingga selanjutnya unsur-unsur yang dilacaknya pun harus dibongkar.

Dengan perkembangan yang sangat cepat yang terjadi di masyarakat baik secara lokal maupun secara global seakan hukum tidak mampu memotret fenomena yang ada, hingga membuat hukum seakan selalu tertinggal dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Sebagaimana yang terjadi di negara kita fenomena kasus hukum yang marak akhir-akhir ini diberitakan media secara telanjang membuat kita merasa miris. Kasus mafia hukum, mafia pajak, mafia pengadilan dll, yang melibatkan semua unsur dari criminal justice system tanpa terkecuali adalah contoh konkret puncak gunung es permasalahan hukum di negeri penganut azas Pancasila ini. Para pengemban hukum memiliki tugas berat untuk dapat mengembalikan hukum kepada jalur yang sebenarnya.

Permasalahan
1.      Bagaimana konstruksi paradigma teori dekonstruksi?
2.      Bagaimana urgensi transformasi teori dekonstruksi terhadap  perkembangan hukum di Indonesia?

Pembahasan
Paradigma Teori Dekonstruksi
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan. Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kata terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya.
 Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar. Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.
Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam "teks", yang selama ini telah ditekan atau ditindas. Adalah konsep penting dalam pemikiran Derrida di mana ia mendefinisikannya secara semiologis, wacana-wacana yang melibatkan praktik interpretasi, bahasa menjadi penting.
Bagi Derrida, tidak ada yang eksis di luar "teks", realitas sesungguhnya tidak ada sebab semua realitas dikonstruksi secara budaya, linguistik atau historis, hanyalah "teks". Oleh sebab itu, realitas terdiri dari berbagai "teks" dengan kebenaran yang plural. Tidak ada kebenaran universal. Menurutnya, manusia harus berhati-hati dengan representasi realitas yang diklaim secara universal mengandung kebenaran tunggal. Realitas demikian menurutnya dikonstruksi lewat penalaran yang mendominasi (logosentrisme), bahasa rasional yang mencoba merepresentasikan dunia yang sesungguhnya (real). Bahasa rasional berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu-menciptakan makna dengan kehadiran metafisika. 
Dekonstruksi tidak pernah membangun sebuah sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia menyusup, menyebar dan menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah terprogram oleh logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program tersebut, ia akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan mereproduksi diri dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap menggerogoti program tersebut.
Namun demikian tugas dekonstruksi tidak semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain. Seperti yang Derrida (1976) katakan, “tugas dekonstruksi adalah membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendiskripsikannya kembali dengan cara lain”. Cara mendiskripsikannya dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alatnya si pemikir alat yang positif.
Dekonstruksi bisa dijelaskan dengan cara lain melalui cara kerja différance. Différance adalah manifestasi dari dekonstruksi penanda secara grafis. Différance seperti halnya tulisan adalah pelafalan anonim yang kebal terhadap segala bentuk reduksi. Arti dari différance sendiri berada pada posisi menggantung, antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menunda).[1]
Status makna kata yang menggantung ini adalah pembuktian tidak utuhnya kata différance itu sendiri. Sekaligus membuktikan kelemahan Saussure, yang menempatkan struktur sebagai pusat yang menyatukan perbedaan bahasa yang berisi oposisi dan men-superior-kan tuturan dari pada tulisan. Status menggantung juga mempersilahkan grammatologi untuk bertindak, ketidakpastian dan tertundanya makna terus-menerus adalah bagaimana gramatologi diterapkan secara grafis.
Pelafalan différance meskipun pada akhirnya melahirkan struktur diferensial dalam tulisan, namun tidak menghasilkan kehadiran. Huruf “a” dalam kata itu mengingatkan kita bahwa, kata yang dilafalkan secara sempurna selalu tidak hadir, dia dibentuk melalui rangkaian kesalahan pelafalan yang tak berujung, bahkan dalam struktur grafis sekalipun.[2]
Dekonstruksi juga mereproduksi beragam pengertian yang menyertainya, namun pada akhirnya tidak melahirkan definisi yang jelas. Derrida mengingatkan berbagai pengertian tersebut bukanlah kata dan konsep. Pengertian-pengertian tersebut adalah kata yang tidak utuh karena maknanya harus ditunda. Mereka harus saling dipertukarkan satu dengan lainnya secara acak, sehingga membentuk mata rantai-mata rantai kata.
Nilai Dekonstruksi
Dari gagasan tentang pemikiran dekonstruksi Jacques Derrida dan beberapa sumber lain yang relevan penulis mencoba mengidentifikasi elemen-elemen utama dari pemikiran Jacques Derrida yakni : (1) anti kemapanan, (2) pemberdayaan
1.         Anti Kemapanan
Sebagai sebuah teori, dekonstruksi mampu menjadi sebuah metode yang merombak total kondisi kemapanan sebuah imperium teori yang kokoh dan telah hidup lama. Bagaimana dekonstruksi mampu  mengkritik secara tajam yang diarahkan pada filsafat Barat dan seluruh praktek peradaban Barat adalah suatu pekerjaan dekonstruktif. Terutama sekali yang mempengaruhi Derrida adalah gaya penulisan filosofisnya yang bersikukuh dengan sikap skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan dan kebenaran. Dan membebaskan pikiran dari batas-batas konseptual yang mengurungnya.
Dengan palu différance Derrida meruntuhkan kemapanan tersebut. Oposisi yang menempatkan terma pertama pada kedudukan superior yang diasumsikan melalui strukturnya memiliki makna yang hadir yang bersembunyi di balik teks. Derrida meruntuhkan oposisi ini dengan menghancurkan “hierarki”-nya, melawan kekerasan dengan kekerasan, pembalikan terma, dan terma pemenang harus diletakkan di bawah tanda silang. Sehingga memberi ruang pada “konsep” baru yang tidak dipahami dengan cara pandang oposisi. Kemapanan sebuah sistem pasti memiliki celah untuk dibaca ulang guna menerjemahkan makna-makna yang belum dimunculkan untuk dimunculkan kembali.
2.    Pemberdayaan
Lawrence Freidman menyebut lima fungsi dari sistem hukum, pertama sebagai sistem kontrol yakni sistem hukum yang berkaitan dengan perilaku yang mengontrol. Kedua, fungsi hukum sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement) yakni sistem hukum adalah media pemecah konflik dan juga media penyelesaian sengketa. Ketiga, fungsi redistribusi (redistribute function) atau fungsi rekayasa sosial (social engineering). Fungsi ini mengarahkan penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang diarahkan oleh negara dalam hal ini pemerintah. Keempat, hukum berfungsi sebagai pemelihara sosial (social maintenance). Kelima, hukum berfungsi mengawasi penguasa itu sendiri.[3]
Karakter dokonstruksi menghendaki kehadiran sistem yang dikaitkan dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya. Dalam kepustakaan tentang pemberdayaan, terma pemberdayaan memang berkait erat dengan kekuatan dan kekuasaan. Karena itu kecenderungan utama dari makna pemberdayaan menunjuk pada suatu proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan/kekuatan atau kemampuan kepada sebuah komunitas sosial  untuk lebih berdaya. Peran social engineering dapat dilihat sebagai suatu strategi pencapaian yang cukup efektif.

Urgensi Transformasi Teori Dekonstruksi Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia
Para pengemban ilmu hukum dihadapkan pada beberapa pilihan mau dibawa kemana roh hukum tergantung dari kedalaman keilmuan dan ketulusan nurani para pengemban ilmu hukum. Keadilan memang bukan saja belum tercapai dengan adanya sebuah ketertiban. Karena keadilan memang lebih dari sekedar ketertiban dan kepastian (legal certainty).
Perkembangan dinamika ilmu hukum dewasa ini pada galibnya ada melalui perdebatan panjang dan melelahkan untuk menemukan sebuah entitas “kebenaran” dalam berhukum. Namun demikian sebuah paradigma  hukum terus akan bermunculan seiring dengan perkembangan zaman. Paradigma lama akan tergantikan dengan paradigma baru, terkadang juga kemunculan paradigma baru tidak mampu menggoyahkan posisi paradigma lama bahkan malah memperkuat paradigma lama tersebut. Sebuah paradigma akan terus diuji seberapa kuat ia menahan gempuran paradigma baru.
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis.
Dalam kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia dibedakan antara: sistem hukum sipil; Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law; hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis). Eric L. Richard[4]  membedakan sistem hukum yang utama di dunia (TheWorld’s Major Legal Systems) menjadi: civil law; common law; Islamic law; socialist law; sub-Sahara Africa; dan Far East. Munir Fuady[5] menyatakan terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum. Menurutnya tradisi hukum dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropa Kontinental, tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum keagamaan.
Kompleksitas sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia asli. Sebagai produk kebudayaan asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini berlangsung sebelum kedatangan kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya Indonesia memasuki masa pengaruh kebudayaan Hindu. Pada abad ke-13 sampai ke-14 masuk pengaruh Islam, dan hukum Islam berkembang dan memperkaya sistem hukum yang ada di Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan Eropa-Amerika.
Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua sistem hukum yang paling berpengaruh (Eropa Kontionental dan Anglo Saxon), cenderung lebih dekat dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak.
Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law, computer law, cyber law, dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya banyak mengacu pada Sistem Common law.
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.
1.      Sebuah Proses Pencarian Identitas Negara Hukum
Untuk menentukan apakah suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum, biasanya digunakan dua macam asas, yakni :
1.         Asas legalitas;
Asas legalitas merupakan unsur utama daripada suatu negara hukum. Semua tindakan Negara harus berdasarkan dan bersumber pada Undang-undang. Penguasa tidak boleh keluar dari rel-rel dan batas-batas yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Batas kekuasaan Negara ditetapkan dalam Undang-undang. Akan tetapi untuk dinamakan negara hukum tidak cukup bahwa suatu negara hanya semata-mata bertindak dalam garis-garis kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Undang-undang[6]. Sudah barang tentu bahwa dalam negara hukum setiap orang yang merasa hak-hak pribadinya dilanggar, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari keadilan dengan mengajukan perkaranya itu di hadapan pengadilan. Cara-cara mencari keadilan itu pun dalam negara hukum diatur dengan Undang-Undang[7].
2.         Asas perlindungan atas kebebasan setiap orang dan atas hak-hak asasi manusia.[8]
Asas perlindungan dalam negara hukum nampak antara lain dalam “Declaration of Independence”, bahwa orang yang hidup di dunia ini sebenarnya telah diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat dirampas atau dimusnahkan. Hak-hak tersebut yang sudah ada sejak orang dilahirkan, perlu mendapat perlindungan secara tegas dalam negara hukum modern.[9]
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.
Pandangan Derrida dalam teori Dekonstruksi, pengertiannya adalah alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Dekonstruksi dapat juga dijadikan sebagai upaya membalik secara terus menerus hirarkis oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya.
Derrida sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis lebih mampu mengakomidasi dinamika, ketidakpastian, gejolak dan kegelisahan-kegelisanan yang mencirikan budaya Chaos yang menurutnya kegelisahan merupakan akibat dari cara tertentu yang diimplikasikan dalam permainan sehingga dapat menciptakan kreatif tanda dan kode-kode yang tanpa batas dan tidak terbatas.
Dekonstruksi Derrida bagi Ilmu Hukum memberikan alternatif pemahaman teks, yang berbeda dari model pemahaman teks yang konvensional dan formal dalam hukum yang cendrung dianggap sesuatu yang sudah jadi yang mana gangguan kecil yang muncul dianggap sebagai perusak yang pada akhirnya tidak dapat memberikan jaminan kepastian teks, tetapi menurut Derrida bahwa ada dua cara penafsiran yaitu upaya untuk merekonstruksi makna atau kebenaran awal/orisinil dan secara eksplisit membuka pintu indeterminasi makna didalam sebuah permainan bebas sehingga pemikiran Derrida merupakan bentuk perlawanan terhadap model penafsiran teks yang sudah mapan, yang dalam ilmu hukum cenderung untuk ditolak, dianggap pasti dan sudah jadi.
Dekonstruksi dalam hukum merupakan strategi pembalik untuk membantu mencoba melihat makna istilah yang tersembunyi yang kadang telah cenderung diistimewakan melalui sejarah. Selain itu Dekonstruksi juga mempunyai gagasan tentang “free play of the text” yang mana setiap teks yang disusun termasuk keputusan hukum atau doktrin hukum dibebankan ketika teks itu disusun dengan kata lain melalui dekonstruksi teks mempunyai kehidupan sendiri.
Salah satu faktor eksternal yang menimbulkan perubahan pemikiran hukum adalah munculnya fenomena negara modern. Satu hal yang menonjol adalah lahirnya suatu orde hukum perundang-undangan yang dipicu oleh adanya pengadaan kekuasaan legislatif yang memiliki kekuasaan spesifik untuk membuat undang-undang. Hal ini menandai kelahiran pemikiran positivistis dalam hukum di abad kesembilan belas. Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat dilepaskan dari kehadiran negara modern.
Untuk Negara Republik Indonesia yang menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan adalah “asas kerukunan” dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini akan berkembang elemen lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yakni terjalinnya hubungan fungsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak dan kewajiban saja, tetapi juga terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menurut Philipus M. Hadjon, elemen Negara Hukum Pancasila adalah :
1.      Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
2.      Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara.
3.      Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir.
4.      Keseimbangan antara hak dan kewajiban.[10]
Sistem Hukum Indonesia merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang dapat dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan yang tidak ‘diintervensi’ norma hukum.
Gagasan untuk menjadikan Pancasila sebagai mahzab hukum muncul dari Prasetijo Rijadi dari Universitas Bhayangkara saat beliau menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan gelar profesor. Dengan tegas beliau menyatakan bahwa Pancasila harus menjadi dasar pengembangan ilmu hukum di Indonesia. Beliau mengatakan : “... apa yang hendak saya tekankan adalah bahwa apapun statusnya, Pancasila adalah motivasi dan pedoman sekaligus confirm and deepen the identity of their people guna mendifinisikan aktivitas sosio-kultural maupun struktural penyelenggaraan pemerintahan negara yang Pancasilais. Oleh karenanya Pancasila harus mampu menjadi pengembangan ilmu hukum...”[11]
Dalam konteks kekinian ketika sebagian elemen bangsa mulai kehilangan pegangan (way of life), masyarakat menuju pada kondisi yang labil dan rapuh. Kondisi ini ditunjukkan dengan gejala-gejala bergesernya tradisi masyarakat dari gotong-royong menjadi individualistik, rasa tepo seliro menjadi antipati terhadap sesamanya, lunturnya nilai-nilai beragama bergeser kearah materialistik dan hedonistik.
Bangsa kita meyakini bahwa Indonesia memiliki karakteristik dan tradisi yang berbeda dari negara manapun di dunia ini. Kekayaan budaya kita menunjukkan hal demikian. Hal inilah yang mendorong para pemikir hukum untuk kembali pada jiwa (Volkgeist) kita yang sebenarnnya, bukan topeng pinjaman dari bangsa lain yang sebenarnya jauh lebih rendah keluhuran peradabannya.

Kesimpulan
1.1.   Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataannya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
1.2.   Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak berakar pada jiwa murni bangsa.
1.3.   Kondisi kekinian perkembangan hukum di Indonesia meniscayakan adanya dekonstruksi  criminal justice system dalam tataran yang mendasar baik secara teoritis dan praktis. Pemahaman aparat akan teks hukum hendaknya mampu meletakkan posisi manusia as a human, berorientasi progresif terhadap keadilan sosial bagi seluruh elemen masyarakat.

Daftar Pustaka
A.M.W Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta, 1985.
Achmad Ali,  Keterpurukan Hukum Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
---------------Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies. Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2006.
Alan Hunt, The Sociological Movement in Law, Macmillan Press, London, 1978.
Bachsan Mustafa. Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum, Grasino, Jakarta, 2004.
D.H.M Meuwissen, Elementen van Staatsrecht, Tjeenk Willink, Zwolle, 1975.
Daniel S Lev,  Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
Donald Black, Sociological Justice, Oxford University Press, New York, 1988.
E. Sumaryono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1993.
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Ichtiar, Jakarta, 1963.
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian Suatu Pengantar Menuju Sein Und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003.
-----------------------, Melampaui Positivisme dan Modernitas Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Kanisius, Yogyakarta, 2003.
Fred N Kerlinger,  The Foundations of Behavioral Research, Third Edition, 1986, by holt, Renihart and Winston inc, diterjemahkan oleh Landung R Simatupang, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1990.
George P Fletcher, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
George Ritzer, Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2009.
Gouw Giok Siong, Pengertian Tentang Negara Hukum, Keng Po, Jakarta, 1955.
Hartono, Sunarjati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bina Cipta, Jakarta, 1982.
J.J.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Jacques Derrida, 1976. Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak, The John Hopkins University Press, Baltimore and London. Terj. Ridwan Muzir Arrus, Yogyakarta, 2003.
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj. A. Gunawan Admiranto, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Johnny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum Teori dan Implikasinya Penerapannya dalam Penegakan Hukum, CV Putra Media  Nusantara & ITS Press, Surabaya, 2009.
---------------------, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2010.
Jonathan Culler, “Jacques Derrida”, dalam John Sturrock, ed., Structuralism and Since: From Lévi-Strauss to Derrida, Oxford University Press, New York, 1979, terj. Muh. Nahar, Jp press, Surabaya, 2004.
Jujun S.  Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Popular, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
K.  Bertens, Filsafat Abad XX Jilid II: Perancis, P.T Gramedia, Jakarta, 1990.
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004.
Lawrence Friedman , American Law An Introduction, Second Edition,2001, terj. Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT Tata Nusa, Jakarta, 2001.
Lili Rasjidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu System, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
Mahfud M.D. Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Muhammad Al-fayadl,  Derrida, Lkis, Yogyakarta, 2005.
Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum. Refika Aditama, Bandung, 2007.
Peter L Berger, Pyramid of Sacrifice, Political Ethics and Social Change, ter. A Rahman Tolleng, LP3ES, Jakarta,1982.
Phillipus M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.
------------------------, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, cet. Ke-IV, PT. Eresco, Jakarta-Bandung,1976.
Sadjijono, Memahami Beberapa Pokok Hukum Administrasi, Laksbang, Yogyakarta, 2008.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, 1986.
Soetandijo Wignjosoebroto, Sejarah Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta,  1984.
Sunardi, Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta, 2002.
Tatang M Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta, 1987.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2004.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cetakan Ke 11, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
Tom Campbell, Seven Theories of Human Society, ter. F Budi Hardiman, Kanisius, Yogyakarta, 1994.
Walter Lippman, Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Jurnal Ilmiah, Majalah, Koran
Ahmad Sahal, “Kemudian di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Geneologi, dan Dekonstruksi” Jurnal Kebudayaan Kalam, No. 1, Yayasan Kalam dan Penerbit Pustaka Grafiti, Tahun 1994.
Bernard Arief Sidharta, “Refleksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”, (Desertasi), Universitas Padjadjaran , Bandung, 1996.

Hendra Santoso, Postmodernisme: Kritik atas Sains dan Filsafat Modern, dalam majalah Filsafat Driyakarya, ed. XIX, No. 4, STF Driyakarya, Jakarta, 1992/1993.
Ifdhal Kasim,  “Membebaskan Hukum”, dalam Wacana Edisi 6 Tahun 2000, Insist Press, Yogyakarta, 2000.
Khudzaifah Dimyati, “Kerangka Acuan Menuju Karakteristik Hukum Nasional,” dalam Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 1989.
M. Solly Lubis, Kembangkan Gagasan Konstitusionalisme yang Sesuai dengan Asas-asas Kenegaraan dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional No.1, Tahun 1982.
Philipus M Hadjon, Keterbukaan Pemerintah dan Tanggung Gugat Pemerintah, Makalah disampaikan pada seminar Hukum Nasional ke-VI dengan tema Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta, 12-15 Oktober 1999.
Prasetijo Rijadi, Membangun Ilmu Hukum Mahzab Pancasila, Pidato pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, Sabtu 19 April 2008.
Satjipto Rahardjo, “Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia”, dalam Analisis CSIS, Tahun XXII, No.1 Januari –Februari 1993.
Sunaryati Hartono, Peranan Teknologi Dalam Peningkatan dan Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesi, dalam Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.2, 1994.
------------------------, Pembinaan Hukum Nasional Dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung, 1 Agustus 1991.
Sutandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma Dalam Ilmu Hukum, Makalah, Universitas Diponegoro, 10 Februari 1998.
Kompas 10 November 2010.
Kompas 3 November 2010.




[1] Muhammad Al-fayadl, Op. Cit., hlm. 110.
[2] Ibid.
[3] Lawrence Friedman, American Law An Introduction, Second Edition, 2001, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT Tata Nusa, Jakarta, 2001, hlm. 11-18.
[4] Ade Maman Suherman, Op.cit, hlm. 21.
[5] Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum. Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 32.

[6]Gouw Giok Siong, Pengertian Tentang Negara Hukum, Keng Po, Jakarta, 1955, hlm.12-13.
[7]Rochmat  Soemitro, Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, cet. Ke-IV, PT. Eresco, Jakarta-Bandung,1976, hlm.18.
[8] E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Ichtiar, Jakarta, 1963, hlm. 310.
[9] Op.cit.
[10] Ibid., hlm.82.
[11] Prasetijo Rijadi, Membangun Ilmu Hukum Mahzab Pancasila, pidato pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, Sabtu 19 April 2008, hlm. 2-4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar