ABSTRAK
Paham negara hukum yang dianut dalam budaya hukum
Indonesia mendudukkan kepentingan perorangan
secara seimbang dengan kepentingan umum. Artinya negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta melindunginya, sementara pada sisi lain negara diberikan kekuasaan untuk melindungi hak dan kewajiban asasi rakyatnya dengan membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai. Konsep kenegaraan ini tidak mendudukkan kepentingan individu atau HAM (dalam perspektif Barat) diatas segala-galanya dan tidak pula mendudukkan kepentingan negara diatas segalanya.
secara seimbang dengan kepentingan umum. Artinya negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta melindunginya, sementara pada sisi lain negara diberikan kekuasaan untuk melindungi hak dan kewajiban asasi rakyatnya dengan membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai. Konsep kenegaraan ini tidak mendudukkan kepentingan individu atau HAM (dalam perspektif Barat) diatas segala-galanya dan tidak pula mendudukkan kepentingan negara diatas segalanya.
Kata kunci: pemikiran hukum, teori dekonstruksi,
budaya hukum
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan,
ilmu hukum juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Hal ini dapat
ditelusuri mulai dari zaman purba (pra Socrates, Yunani, Romawi), abad
pertengahan, Renaissance, zaman baru hingga zaman modern, mulai dari aliran
hukum alam hingga aliran hukum pragmatis Amerika. Perkembangan tersebut seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang merupakan rangkaian penjelajahan atas
ide manusia yang selalu mempertanyakan segala sesuatu. Mulai zaman purba,
Mesir, Babylonia hingga zaman modern.
Dalam sejarah peradaban
manusia jejak hukum mulai terekam sejak disusunnya kodifikasi hukum yang
pertama oleh raja Hammurabi (Codex Hamuurabi) pada masa kejayaan Babilonia
(1800 SM).
Meski demikian
Marcus Tullius Cicero (106-45 SM) menuliskan dalam adagiumnya yang terkenal, “ubi societas ibi ius”, dimana ada
masyarakat di situ pasti ada hukum. Sejarah telah menceritakan bahwa sejak
manusia manusia hidup bermasyarakat sejak itu pula hukum memegang peranannya
yang penting dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Perkembangan penjelajahan ide manusia
pada dunia pengetahuan hukum juga tampak pada masa Socrates, ketika ia
berbicara tentang keadilan, kemudian dilanjutkan Aristoteles (348 – 322SM) yang berbicara
tentang hukum begitu juga Pythagoras
(571 – 497 SM) yang menyatakan keadilan sebagai bentuk
perimbangan alamiah. Kesearahan
orientasi penjelajahan ide manusia pada dunia hukum ini tentu saja berlanjut
setelah abad masehi yakni melalui aliran hukum alam, mulai dari yang
berorientasi pada universalitas atau yang biasa disebut sebagai aliran hukum
alam irrasional hingga pada aliran hukum
alam yang didominasi oleh rasio manusia atau yang biasa kita sebut aliran hukum
alam rasional. Penjelajahan ide hukum ternyata terus berlanjut yang kemudian
melahirkan banyak aliran hukum dengan berbagai metode pendekatan yang digunakan
oleh tokoh sentralnya masing-masing sampai pada aliran hukum pragmatis.
Paham negara hukum yang
dianut dalam budaya hukum Indonesia mendudukkan kepentingan perorangan secara
seimbang dengan kepentingan umum. Artinya negara mengakui hak dan kewajiban
asasi warga negara serta melindunginya, sementara pada sisi lain negara
diberikan kekuasaan untuk melindungi hak dan kewajiban asasi rakyatnya dengan
membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan
masyarakat yang aman, tentram dan damai. Konsep kenegaraan ini tidak
mendudukkan kepentingan individu atau HAM (dalam perspektif Barat) diatas
segala-galanya dan tidak pula mendudukkan kepentingan negara diatas segalanya.
Keduanya didudukkan dalam posisi yang proporsional demi terciptanya gemah ripah loh jinawi toto tentrem
kertoraharjo.
Paradigma diatas dapat menuntun dalam penyelenggaraan suatu
negara hukum, yakni pembuatan undang-undang, penegakan hukum dan peradilan.
Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan
pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan
kedalam berbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses
penegakkan hukum. Pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia didasarkan atas
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang secara implisit memperlihatkan bahwa penyusunan hukum yang berlaku
di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan pandangan hidup bangsa, yakni
Pancasila. Dengan Pancasila sebagai pandangan hidup, maka paham negara hukum
tidak seperti di anut dalam budaya hukum negara lain, baik itu common
law
system, civil law system, socialist law system maupun islamic law
system.
Kondisi real Indonesia
adalah bahwa Negara ini masih kurang peranannya dalam kancah dunia. Indonesia
masih kurang memainkan kartu sebagai Negara demokratis berpenduduk muslim
terbesar di dunia secara maksimal. Kunjungan presiden Amerika pada 9 November
2010 lalu dalam rangkaian kunjungan ke beberapa Negara di Asia yang kurang dari
24
jam menunjukkan antiklimaksnya.
Indonesia hanya sekedar menjadi transit untuk
istirahat atau dalam bahasa Obama ”pulang kampung”. Sebagaimana kita ketahui Barack Husein Obama
adalah presiden Amerika Serikat pertama yang sempat tinggal di Indonesia pada
masa kecilnya. Namun dalam hal ini kami ingin menegaskan bahwa hubungan
emosional pribadi dan hubungan emosional kenegaraan adalah dimensi yang
berbeda.
Dalam konstruksi hukum yang
semakin jauh dari ideal di tanah air membuat penulis tergerak untuk membongkar
konstruksi yang cenderung jumud, kaku dan pro liberal. Untuk itu penulis
berusaha memunculkan pemikiran Derrida sebagai pemikir dekonstruksi. Menurut
pemikiran Derrida, setiap teks selalu membuka ruang yang tidak terbatas untuk
ditafsirkan dan dibaca ulang, karena itu sebuah teks memiliki dimensi yang
unik, karena ia tidak mungkin ditafsirkan secara tunggal. Menurut Derrida,
keunikan teks terletak pada pertautannya dengan teks-teks lain (intertekstualitas).
Dalam pandangan Derrida,
tidak ada teori atau wacana yang tidak terpengaruh oleh dekonstruksi.
Gerakan dekonstruksi pada awalnya merupakan cara atau
metode membaca teks, dan yang khas dalam cara baca dekonstruktif menjadi
filosofis. Sehingga selanjutnya unsur-unsur yang dilacaknya pun harus dibongkar.
Dengan perkembangan yang
sangat cepat yang terjadi di masyarakat baik secara lokal
maupun secara global seakan hukum tidak mampu memotret fenomena yang ada,
hingga membuat hukum seakan selalu tertinggal dengan dinamika yang terjadi di masyarakat.
Sebagaimana yang terjadi di negara kita fenomena kasus hukum yang marak
akhir-akhir ini diberitakan media secara telanjang membuat kita merasa miris. Kasus mafia hukum, mafia pajak,
mafia pengadilan dll, yang melibatkan semua unsur dari criminal justice system tanpa terkecuali adalah contoh konkret
puncak gunung es permasalahan hukum di negeri penganut azas Pancasila ini. Para pengemban hukum
memiliki tugas berat untuk dapat mengembalikan hukum kepada jalur yang
sebenarnya.
Permasalahan
1. Bagaimana konstruksi paradigma teori dekonstruksi?
2.
Bagaimana
urgensi transformasi teori dekonstruksi terhadap perkembangan
hukum di Indonesia?
Pembahasan
Paradigma Teori
Dekonstruksi
Pada awalnya, dekonstruksi
adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk
ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks
tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal
teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna
tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di
pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan. Dekonstruksi
menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang
mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya
Proses penulisan selalu
mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih
umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah
sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa
term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa
yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan
di tempat yang berbeda.
Ini juga memastikan bahwa
setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan
hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi
pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru
berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kata terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri
terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif
Kekhasan cara baca
dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan
filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar
bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak
akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran
modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur
yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan
filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh karena itu, dalam
metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat
diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa
ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu
disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun
fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan
filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan
statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang
digunakannya.
Bahasa ingin digunakan sebagai sarana
transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik,
atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul
benar. Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi
agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik
teks-teks.
Sistematika penerapan
dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi
hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana
yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. Kedua,
oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara
yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan
sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam
kategori oposisional lama.
Bagi Derrida, dekonstruksi
adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar
modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen
hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti
lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam "teks", yang selama ini
telah ditekan atau ditindas. Adalah konsep penting dalam pemikiran Derrida di
mana ia mendefinisikannya secara semiologis, wacana-wacana yang melibatkan
praktik interpretasi, bahasa menjadi penting.
Bagi Derrida, tidak ada yang
eksis di luar "teks", realitas sesungguhnya tidak ada sebab semua
realitas dikonstruksi secara budaya, linguistik atau historis, hanyalah
"teks". Oleh sebab itu, realitas terdiri dari berbagai
"teks" dengan kebenaran yang plural. Tidak ada kebenaran universal.
Menurutnya, manusia harus berhati-hati dengan representasi realitas yang
diklaim secara universal mengandung kebenaran tunggal. Realitas demikian
menurutnya dikonstruksi lewat penalaran yang mendominasi (logosentrisme),
bahasa rasional yang mencoba merepresentasikan dunia yang sesungguhnya (real).
Bahasa rasional berupaya menjamin esensi dari segala sesuatu-menciptakan makna
dengan kehadiran metafisika.
Dekonstruksi tidak pernah membangun sebuah
sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia menyusup, menyebar dan
menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah terprogram oleh
logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program tersebut, ia
akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan mereproduksi diri
dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap menggerogoti program
tersebut.
Namun demikian tugas dekonstruksi tidak
semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain.
Seperti yang Derrida (1976) katakan, “tugas dekonstruksi adalah membongkar (deconstruire) struktur-struktur
metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau
menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendiskripsikannya
kembali dengan cara lain”. Cara mendiskripsikannya dengan memanfaatkan penanda
bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan
kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur
atau alatnya si pemikir alat yang positif.
Dekonstruksi bisa dijelaskan dengan cara
lain melalui cara kerja différance. Différance adalah manifestasi dari dekonstruksi
penanda secara grafis. Différance
seperti halnya tulisan adalah pelafalan anonim yang kebal terhadap segala
bentuk reduksi. Arti dari différance
sendiri berada pada posisi menggantung, antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to
defer” (menunda).[1]
Status makna kata yang menggantung ini
adalah pembuktian tidak utuhnya kata différance
itu sendiri. Sekaligus membuktikan kelemahan Saussure, yang menempatkan
struktur sebagai pusat yang menyatukan perbedaan bahasa yang berisi oposisi dan
men-superior-kan tuturan dari pada tulisan. Status menggantung juga
mempersilahkan grammatologi untuk bertindak, ketidakpastian dan tertundanya
makna terus-menerus adalah bagaimana gramatologi diterapkan secara grafis.
Pelafalan différance meskipun pada akhirnya melahirkan struktur diferensial
dalam tulisan, namun tidak menghasilkan kehadiran. Huruf “a” dalam kata itu
mengingatkan kita bahwa, kata yang dilafalkan secara sempurna selalu tidak
hadir, dia dibentuk melalui rangkaian kesalahan pelafalan yang tak berujung,
bahkan dalam struktur grafis sekalipun.[2]
Dekonstruksi juga mereproduksi beragam
pengertian yang menyertainya, namun pada akhirnya tidak melahirkan definisi
yang jelas. Derrida mengingatkan berbagai pengertian tersebut bukanlah kata dan
konsep. Pengertian-pengertian tersebut adalah kata yang tidak utuh karena
maknanya harus ditunda. Mereka harus saling dipertukarkan satu dengan lainnya
secara acak, sehingga membentuk mata rantai-mata rantai kata.
Nilai Dekonstruksi
Dari gagasan tentang pemikiran dekonstruksi
Jacques Derrida dan beberapa sumber lain yang relevan penulis mencoba
mengidentifikasi elemen-elemen utama dari pemikiran Jacques Derrida yakni : (1)
anti kemapanan, (2) pemberdayaan
1.
Anti Kemapanan
Sebagai sebuah teori, dekonstruksi mampu
menjadi sebuah metode yang merombak total kondisi kemapanan sebuah imperium
teori yang kokoh dan telah hidup lama. Bagaimana dekonstruksi mampu mengkritik secara tajam yang diarahkan pada
filsafat Barat dan seluruh praktek peradaban Barat adalah suatu pekerjaan dekonstruktif.
Terutama sekali yang mempengaruhi Derrida adalah gaya penulisan filosofisnya
yang bersikukuh dengan sikap skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan dan
kebenaran. Dan membebaskan pikiran dari batas-batas konseptual yang
mengurungnya.
Dengan palu différance Derrida meruntuhkan kemapanan tersebut. Oposisi yang
menempatkan terma pertama pada kedudukan superior yang diasumsikan melalui
strukturnya memiliki makna yang hadir yang bersembunyi di balik teks. Derrida
meruntuhkan oposisi ini dengan menghancurkan “hierarki”-nya, melawan kekerasan
dengan kekerasan, pembalikan terma, dan terma pemenang harus diletakkan di
bawah tanda silang. Sehingga memberi ruang pada “konsep” baru yang tidak
dipahami dengan cara pandang oposisi. Kemapanan sebuah sistem pasti memiliki
celah untuk dibaca ulang guna menerjemahkan makna-makna yang belum dimunculkan
untuk dimunculkan kembali.
2.
Pemberdayaan
Lawrence Freidman menyebut lima fungsi
dari sistem hukum, pertama sebagai sistem kontrol yakni sistem hukum yang
berkaitan dengan perilaku yang mengontrol. Kedua, fungsi hukum sebagai
penyelesaian sengketa (dispute settlement)
yakni sistem hukum adalah media pemecah konflik dan juga media penyelesaian
sengketa. Ketiga, fungsi redistribusi (redistribute
function) atau fungsi rekayasa sosial (social
engineering). Fungsi ini mengarahkan penggunaan hukum untuk mengadakan
perubahan sosial yang berencana yang diarahkan oleh negara dalam hal ini
pemerintah. Keempat, hukum berfungsi sebagai pemelihara sosial (social maintenance). Kelima, hukum
berfungsi mengawasi penguasa itu sendiri.[3]
Karakter dokonstruksi menghendaki
kehadiran sistem yang dikaitkan dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya.
Dalam kepustakaan tentang pemberdayaan, terma pemberdayaan memang berkait erat
dengan kekuatan dan kekuasaan. Karena itu kecenderungan utama dari makna
pemberdayaan menunjuk pada suatu proses memberikan atau mengalihkan sebagian
kekuasaan/kekuatan atau kemampuan kepada sebuah komunitas sosial untuk lebih berdaya. Peran social engineering dapat dilihat sebagai
suatu strategi pencapaian yang cukup efektif.
Urgensi Transformasi Teori Dekonstruksi Terhadap Perkembangan
Hukum di Indonesia
Para pengemban
ilmu hukum dihadapkan pada beberapa pilihan mau dibawa kemana roh hukum
tergantung dari kedalaman keilmuan dan ketulusan nurani para pengemban ilmu
hukum. Keadilan memang bukan saja belum tercapai dengan adanya sebuah
ketertiban. Karena keadilan memang lebih dari sekedar ketertiban dan kepastian
(legal certainty).
Perkembangan dinamika ilmu
hukum dewasa ini pada galibnya ada melalui perdebatan panjang dan melelahkan
untuk menemukan sebuah entitas “kebenaran” dalam berhukum. Namun demikian
sebuah paradigma hukum terus akan
bermunculan seiring dengan perkembangan zaman. Paradigma lama akan tergantikan
dengan paradigma baru, terkadang juga kemunculan paradigma baru tidak mampu
menggoyahkan posisi paradigma lama bahkan malah memperkuat paradigma lama
tersebut. Sebuah paradigma akan terus diuji seberapa kuat ia menahan gempuran
paradigma baru.
Memperhatikan perkembangan
sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan
menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di
Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai
masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda.
Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya
merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis
dan perundang-undangan yang bercorak positivis.
Dalam
kajian-kajian teoretik, berdasarkan berbagai karakteristik sistem hukum dunia
dibedakan antara: sistem hukum sipil;
Sistem hukum anglo saxon atau dikenal juga dengan common law;
hukum agama; hukum negara blok timur (sosialis).
Eric L. Richard[4] membedakan sistem hukum yang utama di dunia (TheWorld’s
Major Legal Systems) menjadi: civil law; common law; Islamic
law; socialist law; sub-Sahara Africa; dan Far East. Munir Fuady[5] menyatakan
terdapat lebih dari 11 pengelompokan sistem hukum. Menurutnya tradisi hukum
dunia dibedakan antara: tradisi hukum Eropa Kontinental, tradisi hukum Anglo
Saxon, tradisi hukum sosialis, tradisi hukum kedaerahan, tradisi hukum
keagamaan.
Kompleksitas sistem hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa
Indonesia. Pertama kali kebudayaan yang muncul adalah kebudayaan Indonesia
asli. Sebagai produk kebudayaan asli ini adalah hukum adat. Kebudayaan ini
berlangsung sebelum kedatangan kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya Indonesia
memasuki masa pengaruh kebudayaan Hindu. Pada abad ke-13 sampai ke-14 masuk
pengaruh Islam, dan hukum Islam berkembang dan memperkaya sistem hukum yang ada
di Indonesia. Baru pada abad ke-17 masuk kebudayaan Eropa-Amerika.
Jika hukum adat yang ada di Indonesia, dihubungkan dengan corak dasar kedua
sistem hukum yang paling berpengaruh (Eropa Kontionental dan Anglo Saxon),
cenderung lebih dekat dengan sistem Ango Saxon. Hukum adat terbangun dari
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang
kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan atau
kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis). Masyarakat tradisional Indonesia yang
bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh
penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan.
Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi
lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua
suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika
yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak.
Dalam
perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah
internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law,
computer law, cyber law, dan sebagainya. Kebijakan dalam
bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya banyak
mengacu pada Sistem Common
law.
Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi
keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari
supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi
masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum
yang membawa keadilan bagi masyarakat.
1.
Sebuah
Proses Pencarian Identitas Negara Hukum
Untuk
menentukan apakah suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum,
biasanya digunakan dua macam asas, yakni :
1.
Asas legalitas;
Asas legalitas
merupakan unsur utama daripada suatu negara hukum. Semua tindakan Negara harus
berdasarkan dan bersumber pada Undang-undang. Penguasa tidak boleh keluar dari
rel-rel dan batas-batas yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Batas
kekuasaan Negara ditetapkan dalam Undang-undang. Akan tetapi untuk dinamakan negara
hukum tidak cukup bahwa suatu negara hanya semata-mata bertindak dalam
garis-garis kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Undang-undang[6].
Sudah barang tentu bahwa dalam negara hukum setiap orang yang merasa hak-hak
pribadinya dilanggar, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari keadilan
dengan mengajukan perkaranya itu di hadapan pengadilan. Cara-cara mencari
keadilan itu pun dalam negara hukum diatur dengan Undang-Undang[7].
2.
Asas perlindungan atas
kebebasan setiap orang dan atas hak-hak asasi manusia.[8]
Asas
perlindungan dalam negara hukum nampak antara lain dalam “Declaration of
Independence”, bahwa orang yang hidup di dunia ini sebenarnya telah
diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat
dirampas atau dimusnahkan. Hak-hak tersebut yang sudah ada sejak orang
dilahirkan, perlu mendapat perlindungan secara tegas dalam negara hukum modern.[9]
Pengaruh kekuatan-kekuatan
politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem
konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih
dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara
adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara,
mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya
berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara.
Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada
yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan
fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian, memberikan
kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak
konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum
untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal
pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat
diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum
dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah
Agung.
Sistem hukum
di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang
dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari
beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan
ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut
oleh masyarakat internasional.
Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh
dengan dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum
sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo
Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.
Pandangan Derrida dalam teori Dekonstruksi, pengertiannya adalah alternatif untuk menolak segala
keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Dekonstruksi dapat
juga dijadikan sebagai upaya membalik secara terus menerus hirarkis oposisi
biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya.
Derrida sebagai salah seorang
pemikir post-strukturalis lebih mampu mengakomidasi dinamika, ketidakpastian,
gejolak dan kegelisahan-kegelisanan yang mencirikan budaya Chaos yang
menurutnya kegelisahan merupakan akibat dari cara tertentu yang diimplikasikan
dalam permainan sehingga dapat menciptakan kreatif tanda dan kode-kode yang
tanpa batas dan tidak terbatas.
Dekonstruksi Derrida bagi Ilmu
Hukum memberikan alternatif pemahaman teks, yang berbeda dari model pemahaman
teks yang konvensional dan formal dalam hukum yang cendrung dianggap sesuatu
yang sudah jadi yang mana gangguan kecil yang muncul dianggap sebagai perusak yang
pada akhirnya tidak dapat memberikan jaminan kepastian teks, tetapi menurut
Derrida bahwa ada dua cara penafsiran yaitu upaya untuk merekonstruksi makna
atau kebenaran awal/orisinil dan secara eksplisit membuka pintu indeterminasi
makna didalam sebuah permainan bebas sehingga pemikiran Derrida merupakan
bentuk perlawanan terhadap model penafsiran teks yang sudah mapan, yang dalam
ilmu hukum cenderung untuk ditolak, dianggap pasti dan sudah jadi.
Dekonstruksi dalam hukum
merupakan strategi pembalik untuk membantu mencoba melihat makna istilah yang
tersembunyi yang kadang telah cenderung diistimewakan melalui sejarah. Selain
itu Dekonstruksi juga mempunyai gagasan tentang “free play of the text” yang
mana setiap teks yang disusun termasuk keputusan hukum atau doktrin hukum
dibebankan ketika teks itu disusun dengan kata lain melalui dekonstruksi teks
mempunyai kehidupan sendiri.
Salah satu faktor eksternal yang menimbulkan perubahan pemikiran
hukum adalah munculnya fenomena negara modern. Satu hal yang menonjol adalah
lahirnya suatu orde hukum perundang-undangan yang dipicu oleh adanya pengadaan
kekuasaan legislatif yang memiliki kekuasaan spesifik untuk membuat
undang-undang. Hal ini menandai kelahiran pemikiran positivistis dalam hukum di
abad kesembilan belas. Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan
positivisme, tak dapat dilepaskan dari kehadiran negara modern.
Untuk
Negara Republik Indonesia yang menghendaki keserasian hubungan antara
pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan adalah “asas kerukunan” dalam
hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini akan berkembang elemen
lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yakni terjalinnya hubungan fungsional
antara kekuasaan-kekuasaan Negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah,
sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan tentang hak-hak asasi
manusia tidaklah hanya menekankan hak dan kewajiban saja, tetapi juga
terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menurut Philipus M.
Hadjon, elemen Negara Hukum Pancasila adalah :
1. Keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
2. Hubungan
fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara.
3. Prinsip
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir.
4. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban.[10]
Sistem Hukum Indonesia
merupakan hal yang telah menjadi wacana berkelanjutan, yang tidak hanya
melibatkan ahli dan pemerhati hukum, tetapi juga telah menarik ke dalamnya
berbagai kalangan untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini merupakan sesuatu yang
dapat dimengerti mengingat dalam kenyataannya hampir tidak ada celah kehidupan
yang tidak ‘diintervensi’ norma hukum.
Gagasan
untuk menjadikan Pancasila sebagai mahzab hukum muncul dari Prasetijo Rijadi
dari Universitas Bhayangkara saat beliau menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan
gelar profesor. Dengan tegas beliau menyatakan bahwa Pancasila harus menjadi
dasar pengembangan ilmu hukum di Indonesia. Beliau mengatakan : “... apa yang
hendak saya tekankan adalah bahwa apapun statusnya, Pancasila adalah motivasi
dan pedoman sekaligus confirm and deepen
the identity of their people guna mendifinisikan aktivitas sosio-kultural
maupun struktural penyelenggaraan pemerintahan negara yang Pancasilais. Oleh
karenanya Pancasila harus mampu menjadi pengembangan ilmu hukum...”[11]
Dalam
konteks kekinian ketika sebagian elemen bangsa mulai kehilangan pegangan (way of life), masyarakat menuju pada
kondisi yang labil dan rapuh. Kondisi ini ditunjukkan dengan gejala-gejala
bergesernya tradisi masyarakat dari gotong-royong menjadi individualistik, rasa
tepo seliro menjadi antipati terhadap sesamanya, lunturnya nilai-nilai beragama
bergeser kearah materialistik dan hedonistik.
Bangsa
kita meyakini bahwa Indonesia memiliki karakteristik dan tradisi yang berbeda
dari negara manapun di dunia ini. Kekayaan budaya kita menunjukkan hal
demikian. Hal inilah yang mendorong para pemikir hukum untuk kembali pada jiwa
(Volkgeist) kita yang sebenarnnya,
bukan topeng pinjaman dari bangsa lain yang sebenarnya jauh lebih rendah keluhuran
peradabannya.
Kesimpulan
1.1.
Memahami hukum
Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam
kenyataannya tentang
pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai
sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak
diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan
berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum
yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan
atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam
perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika
serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya
sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi
serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
1.2.
Kenyataan ini
menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis,
yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum
asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut
Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada
aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman
terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan
hukum yang tidak berakar pada jiwa murni bangsa.
1.3.
Kondisi kekinian perkembangan hukum
di Indonesia meniscayakan adanya dekonstruksi
criminal justice system dalam
tataran yang mendasar baik secara teoritis dan praktis. Pemahaman aparat akan
teks hukum hendaknya mampu meletakkan posisi manusia as a human, berorientasi progresif terhadap keadilan sosial bagi
seluruh elemen masyarakat.
Daftar
Pustaka
A.M.W
Pranarka, Sejarah
Pemikiran Tentang Pancasila, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta, 1985.
Achmad
Ali, Keterpurukan Hukum Indonesia
(Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.
---------------, Menguak
Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
Ade Maman
Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari
Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme, Hingga Cultural Studies.
Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2006.
Alan Hunt, The
Sociological Movement in Law, Macmillan Press, London, 1978.
Bachsan
Mustafa. Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2003.
Budiono
Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum,
Grasino, Jakarta, 2004.
D.H.M
Meuwissen, Elementen van Staatsrecht, Tjeenk Willink, Zwolle, 1975.
Daniel
S Lev, Hukum Dan Politik di
Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
Donald
Black, Sociological Justice, Oxford University Press, New York, 1988.
E. Sumaryono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta, 1993.
E.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Ichtiar, Jakarta,
1963.
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian Suatu Pengantar Menuju
Sein Und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003.
-----------------------,
Melampaui Positivisme dan Modernitas Diskursus Filosofis Tentang Metode
Ilmiah dan Problem Modernitas, Kanisius, Yogyakarta, 2003.
Fred N
Kerlinger, The
Foundations of Behavioral Research,
Third Edition, 1986, by holt, Renihart and Winston inc, diterjemahkan oleh
Landung R Simatupang, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1990.
George P Fletcher, Basic
Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
George Ritzer, Teori
Sosial Postmodern. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2009.
Gouw
Giok Siong, Pengertian Tentang Negara Hukum, Keng Po, Jakarta, 1955.
Hartono,
Sunarjati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bina Cipta, Jakarta,
1982.
J.J.H
Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-Pengertian Dasar
Dalam Teori Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996.
Jacques Derrida, 1976. Of Grammatology, terj. Gayatri
Chakravorty Spivak, The John Hopkins University Press, Baltimore and London.
Terj. Ridwan Muzir Arrus, Yogyakarta, 2003.
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj. A. Gunawan Admiranto, Kanisius, Yogyakarta,
2001.
Johnny
Ibrahim, Pendekatan Ekonomi terhadap
Hukum Teori dan Implikasinya Penerapannya dalam Penegakan Hukum, CV Putra
Media
Nusantara &
ITS
Press, Surabaya, 2009.
---------------------, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2010.
Jonathan Culler, “Jacques Derrida”, dalam John Sturrock, ed., Structuralism and Since: From
Lévi-Strauss to Derrida, Oxford University Press, New York, 1979, terj.
Muh. Nahar, Jp press, Surabaya, 2004.
Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Popular, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2005.
K. Bertens, Filsafat
Abad XX Jilid II: Perancis, P.T Gramedia, Jakarta, 1990.
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004.
Lawrence Friedman , American Law An Introduction, Second
Edition,2001, terj. Wishnu Basuki, Hukum
Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT Tata Nusa, Jakarta, 2001.
Lili Rasjidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori
Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
Lili
Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu System,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
Mahfud M.D. Politik Hukum di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, 2009.
Muhammad Al-fayadl, Derrida,
Lkis, Yogyakarta, 2005.
Munir
Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum. Refika Aditama, Bandung, 2007.
Peter L
Berger, Pyramid of Sacrifice, Political
Ethics and Social Change, ter. A Rahman Tolleng, LP3ES, Jakarta,1982.
Phillipus
M Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.
------------------------,
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang
Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, PT. Bina Ilmu,
Surabaya, 1987.
Rochmat
Soemitro, Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, cet.
Ke-IV, PT. Eresco, Jakarta-Bandung,1976.
Sadjijono, Memahami Beberapa Pokok Hukum Administrasi,
Laksbang, Yogyakarta, 2008.
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, 1986.
Soetandijo
Wignjosoebroto, Sejarah Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
1994.
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty,
Yogyakarta, 1984.
Sunardi, Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta,
2002.
Tatang M
Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, CV. Rajawali, Jakarta, 1987.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2004.
Theo
Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, Cetakan Ke 11, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
Tom
Campbell, Seven
Theories of Human Society,
ter. F Budi Hardiman, Kanisius, Yogyakarta, 1994.
Walter Lippman, Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy, oleh
A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Jurnal
Ilmiah, Majalah, Koran
Ahmad Sahal, “Kemudian di Manakah Emansipasi? Tentang
Teori Kritis, Geneologi, dan Dekonstruksi” Jurnal Kebudayaan Kalam, No. 1,
Yayasan Kalam dan Penerbit Pustaka Grafiti, Tahun 1994.
Bernard
Arief Sidharta, “Refleksi Tentang Fundasi
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia”, (Desertasi), Universitas Padjadjaran , Bandung,
1996.
Hendra Santoso, Postmodernisme: Kritik atas Sains dan
Filsafat Modern, dalam majalah Filsafat Driyakarya, ed. XIX, No. 4, STF
Driyakarya, Jakarta, 1992/1993.
Ifdhal Kasim, “Membebaskan
Hukum”, dalam Wacana Edisi 6 Tahun 2000, Insist Press, Yogyakarta, 2000.
Khudzaifah Dimyati, “Kerangka Acuan Menuju Karakteristik Hukum Nasional,” dalam Kedaulatan Rakyat, 21 Juni 1989.
M. Solly Lubis, Kembangkan Gagasan Konstitusionalisme yang
Sesuai dengan Asas-asas Kenegaraan dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
dalam Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional No.1, Tahun 1982.
Philipus
M Hadjon, Keterbukaan Pemerintah dan Tanggung Gugat Pemerintah, Makalah
disampaikan pada seminar Hukum Nasional ke-VI dengan tema Reformasi Hukum
Menuju Masyarakat Madani, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
Republik Indonesia, Jakarta, 12-15 Oktober 1999.
Prasetijo Rijadi, Membangun Ilmu Hukum Mahzab Pancasila,
Pidato pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Bhayangkara Surabaya, Sabtu 19 April 2008.
Satjipto Rahardjo, “Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum
Indonesia”, dalam Analisis CSIS, Tahun XXII, No.1 Januari –Februari 1993.
Sunaryati Hartono, Peranan Teknologi Dalam Peningkatan dan
Pengembangan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Indonesi, dalam
Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, No.2, 1994.
------------------------, Pembinaan
Hukum Nasional Dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia, Pidato Pengukuhan
Sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung, 1
Agustus 1991.
Sutandyo Wignjosoebroto, Permasalahan Paradigma Dalam Ilmu Hukum, Makalah, Universitas
Diponegoro, 10 Februari 1998.
Kompas 10
November 2010.
Kompas 3 November
2010.
[1] Muhammad Al-fayadl, Op. Cit., hlm. 110.
[2] Ibid.
[3] Lawrence Friedman, American Law An Introduction, Second
Edition, 2001, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT Tata Nusa,
Jakarta, 2001, hlm. 11-18.
[4] Ade
Maman Suherman, Op.cit, hlm. 21.
[5]
Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum. Refika Aditama, Bandung, 2007,
hlm. 32.
[6]Gouw
Giok Siong, Pengertian Tentang Negara Hukum, Keng Po, Jakarta, 1955, hlm.12-13.
[7]Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi dalam Hukum
Pajak di Indonesia, cet. Ke-IV, PT. Eresco, Jakarta-Bandung,1976, hlm.18.
[8] E. Utrecht,
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Ichtiar, Jakarta,
1963, hlm. 310.
[9] Op.cit.
[10] Ibid.,
hlm.82.
[11] Prasetijo Rijadi, Membangun Ilmu Hukum Mahzab Pancasila,
pidato pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Bhayangkara Surabaya, Sabtu 19 April 2008, hlm. 2-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar